Jumat, 09 Desember 2011

Mesjid Agung Sumenep Yang Bercorak Cina


Masjid Jamik Sumenep ini, dibangun setelah pembangunan Keraton Sumenep. Pembangunan masjid ini merupakan inisiatif dari Adipati Sumenep, bernama Pangeran Natakusuma I, alias Panembahan Somala yang hidup di Tahun 1762 hingga 1811 M.Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar. Pasalnya masjid yang sebelumnya bernama Masjid Laju yang dibangun oleh Pangeran Anggadipa,  dalam perkembangannya, sudah tidak mampu lagi menampung jamaah yang kian banyak. Maka setelah pembangunan Keraton Sumenep selesai, Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga membangun keraton bernama Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jami’. Berdasarkan catatan sejarah, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing, yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘huru-hara Tionghwa. Masjid jami’ dimulai pembangunannya Tahun 1198 H atau 1779 Masehi. Dan selesai pada Tahun 1206 H atau 1787 Masehi. Terhadap pembangunan masjid ini, Pangeran Natakusuma berwasiat dan ditulis pada tahun 1806 M. Bunyinya yaitu,
Masjid ini adalah Baitullah, sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah atau penguasa, untuk menegakkan kebaikan, jika terdapat masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak. Dari tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Islam di kabupaten paling Timur Pulau Garam ini. Memperhatikan fisik bangunan, layaknya menganut eklektisme kultur desain. Masjid Jami’ Sumenep dari bentuk bangunannya bisa dikata merupakan penggabungan berbagai unsur budaya. Mungkin pula sebagai bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya. Pasalnya  pada masa pembangunannya hidup berbaur berbagai etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh. Yang menarik lagi, bukan hanya kolaborasi gaya arsitektur lokal. Tetapi lebih luas yaitu antara arsitektur Arab, Persia, Jawa, India, dan Cina.  Namun pada tahun 1990, beberapa sudut Masjid Jamik sedikit mengalami renovasi dan perubahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar